www.PortalBugis.Com

"Catatan Bugis Di Rantau & Budayanya"

Manusia Bugis, Rantau & Budayanya

Manusia Bugis, Rantau & Budayanya

RESENSIJudul : Manusia Bugis
Penulis : Christian Pelras
Penerbit : Nalar, Jakarta
Tahun : Februari 2006
Hal. : xxxxiv + 450 hlm.

Oleh : Muhammad Ridwan Alimuddin

“Dari mana nenek-moyang orang Sulawesi Selatan berasal? … jika anggapan Mills benar bahwa lokasi pertama yang ditempati para pendatang adalah sekitar muara Sungai Saddang, maka kemungkinan besar asalnya dari Kalimantan Timur, yakni sekitar Kutei-Samarinda, atau dari bagian tenggara Kalimantan, yakni sekitar Pegatan-Pulau Laut (belakangan, pada kedua wilayah itu terdapat perkampungan bugis. Mungkin tanpa disadari, mereka sebenarnya telah kembali ke tempat asal nenek-moyang mereka) …”Demikian Christian Pelras, menulis salah satu tesis tentang asal nenek moyang orang Bugis di Sulawesi Selatan, di dalam bukunya Manusia Bugis (Nalar, 2006 hal. 45, terjemahan dari The Bugis, 1996). Tesis ini sudah lama dikemukakan oleh seorang ahli bahasa, Roger F. Mills, yaitu pada tahun 1975, namun bagi masyarakat umum di Indonesia pendapat ini mungkin masih baru.Selain baru, juga menarik sebab pemahaman yang ada adalah orang Bugis (termasuk suku-suku lain di Sulawesi Selatan dan Barat) yang ada di Kalimantan Timur dewasa ini berasal dari pulau Sulawesi dari proses gelombang migrasi yang hampir terjadi sepanjang tahun, meski itu hanya per individu. Dengan kata lain, “Mereka kembali ke asal”. Betulkah demikian? Ada ilmuwan yang setuju, ada yang tidak. Namun dari penelitian kesamaan bahasa dan kedekatan geografis, itu sangat dimungkinkan untuk terjadi.
Terlepas orang Bugis “kembali” atau tidak, Kalimantan Timur merupakan salah satu kawasan penting di dalam sejarah migrasi orang Bugis, sejak ratusan tahun lampau sampai detik tulisan ini dibuat. Untuk itu, pada gilirannya, dunia sosial, politik, ekonomi, dan budaya di Kalimantan Timur tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan Bugis atau Sulawesi Selatan secara umum.

Manusia Bugis di Kalimantan Timur tidaklah satu “jenis” saja. Pertama yang perlu diketahui, istilah “Bugis” sering diartikan sebagai “orang dari Sulawesi Selatan”, meski orang itu beretnik Makassar, Mandar, Bajau dan Toraja. Kedua, ada orang Bugis yang memang melakukan migrasi (lahir di tanah Sulawesi untuk kemudian pindah) dan ada yang orang hanya Bugis biologis saja, yaitu kedua (atau satu) orangtuanya berasal dari Sulawesi tetapi dia lahir di Kalimantan Timur.

Buku setebal 500 halaman ini merupakan buku terbaik tentang kebudayaan Suku Bugis. Artinya, dia bisa menjadi rujukan untuk dua hal di atas: perbedaan dan kesamaan Bugis dengan suku lain dan acuan generasi Bugis yang lahir di luar tana Ugi, misalnya di Kalimantan Timur ini. Manusia Bugis dan budayanya amatlah penting diketahui dari sumber yang obyektif sebab seringkali ada yang belum kita pahami hingga menimbulkan persepsi yang salah atau berlebihan terhadap Bugis dan manusianya.

Kalimat kunci yang menjadi benang merah antara: Pulau Sulawesi–manusia Bugis–migrasi–tujuan migrasi adalah alasan untuk melakukan perpindahan dari tanah kelahirannya ke daerah lain, baik di pulau yang sama (Sulawesi) maupun di seberang lautan: “…berhubungan dengan upaya mencari pemecahan konflik pribadi, menghindari penghinaan, kondisi yang tidak aman, atau keinginan untuk melepaskan diri baik dari kondisi sosial yang tidak memuaskan, maupun hal-hal yang tidak diinginkan akibat tindakan kekerasan yang dilakukan ditempat asal.” (hal. 370).

Dari alasan-alasan di atas, Pelras mengambil kasus orang Bugis di Kalimantan Timur sebagai salah satu contoh, yaitu perpindahan seorang bangsawan Wajo’ bernama La Ma’dukelleng bersama 3.000 pengikutnya ke Pasir. Dan oleh Sultan Pasir, perantau tersebut diberi tanah yang sekarang ini dikenal dengan nama Samarinda, kawasan yang dibesarkan oleh orang Bugis.

Alasan di atas berlanjut: “Hanya saja, alasan seperti itu saja tampaknya tidak akan cukup memadai untuk dijadikan landasan untuk memahami mengapa begitu banyak tersebar pemukiman orang Bugis di seluruh Nusantara sejak akhir abad ke-17. Juga tidak dapat menjelaskan kenyataan bahwa—terlepas dari keadaan yang terus berubah—aktivitas perantauan justru merupakan ciri khas “permanen” orang Bugis hingga kini”.

Lalu, sebenarnya budaya apa sih yang identik dengan manusia Bugis? Pertanyaan ini mudah dijawab untuk orang Bugis yang memang lahir dan besar di Sulawesi Selatan. Lalu bagaimana yang mengklaim dirinya sebagai to Bugis tetapi dia lahir di daerah lain, katakanlah Kalimantan Timur? Ya, dia berhak bersikap demikian jika kedua orangtuanya Bugis totok, hitung-hitung dia bisa berbahasa Bugis. Tapi ini kan hanya salah satu unsur budaya Bugis. Bagaimana dengan unsur-unsur budaya yang lain? Apakah dia juga memiliki sikap siriq dan pesseq? Apakah ketika dia lahir dan menikah oleh orangtuanya menggunakan budaya-budaya Bugis? Rumahnya berarsitektur rumah Bugis? Apakah dia menjadi bagian dari pranata sosial yang berkembang di tanah Bugis?

Inilah yang perlu dijawab dan dipahami generasi Bugis yang lahir di perantauan. Manusia Bugis dapat dijadikan sebagai bahan perenungan untuk dapat memposisikan diri sebagai generasi yang tidak kehilangan akar budaya meski dia lahir di luar tanah-budaya moyangnya; meski ciri Bugis hanya karena dia keturunan sepasan laki-laki dan perempuan yang berasal dari Sulawesi Selatan.

Bukan itu saja, orang lain yang mempunyai latar belakang suku yang berbeda tetapi bergaul dengan manusia Bugis di kesehariannya, misalnya sebagai isteri/suami, teman sekantor, rekan bisnis, dan sahabat juga penting untuk memahami budaya-budaya Bugis. Bagaimanapun, Banjar, Dayak, Jawa, dan suku lain di Kalimantan Timur mempunyai banyak perbedaan dengan budaya Bugis yang sedikit-banyak seringkali menimbulkan pergesakan yang berujung pada konflik. Pemahaman atas budaya Bugis dan sebaliknya (orang Bugis juga harus memahami budaya pihak lain) adalah salah satu cara untuk menjalin hubungan yang harmonis.

Di mata orang luar, orang Bugis dikenal sebagai orang berkarakter keras dan sangat menjunjung tinggi kehormatan. Bila perlu, demi mempertahankan kehormatan (siriq), mereka bersedia melakukan tindak kekerasan. Namun demikian, di balik sifat keras itu, orang Bugis juga dikenal sebagai orang yang ramah dan sangat menghargai orang lain serta sangat tinggi kesetiakawanannya. Orang Bugis memiliki berbagai ciri khas yang sangat menarik. Mereka adalah contoh yang jarang terdapat di wilayah Nusantara. Mereka mampu mendirikan kerajaan-kerajaan yang sama sekali tidak mengandung pengaruh India, dan tanpa mendirikan kota sebagai pusat aktivitas mereka. Orang Bugis juga memiliki kesusastraan, baik lisan maupun tulisan yang cukup dikagumi. Dan setelah menganut Islam, bersama Aceh, Minangkabau, Melayu, Sunda, Madura, Moro, Banjar, Makassar, dan Mandar, orang Bugis identik sebagai orang di Nusantara yang kuat identitas keislamannya.

Sumber: Buginese

8 Tanggapan to “Manusia Bugis, Rantau & Budayanya”

  1. Mas Ali said

    Asslm….
    Ada 1 ortu di Makassar yang bisa menjadi sumber untuk anak turunan SulSel bertanya.
    Salah 1jabatan beliau : Divisi-Divisi Koordinator Hukum Adat & Convention Medisiator Kesultanan Se-Indonesia.
    Pemangku Adat SulSel. Titel beliau : Professor Doktor KH. Bisa 9 bahasa.
    Beliau pada tahun 1927 dilantik menjadi RajaKUNINGIN Bone.
    Kebetulan saya sudah belasan kali menemui beliau. Karakter beliau low profile.

    >ali

  2. Yusuf adhi said

    Wow.. Ya Allah, senangnya hamba bs mmplajari budaya nusantara.. ;-(:-) dr sifat .. Arkeolog.a .. Wlwpun blm pnh baca.. Tp rasa.a ud ad sdikit pgertian , lbh dpt trpungkri ke sisi terang

  3. Yusuf adhi said

    Wow.. Ya Allah, senangnya hamba bs mmplajari budaya nusantara.. ;-(:-)

  4. Fuad Azuz said

    Assalamu Akalikum Wr.wb.
    Saya lgi cari buku atau artikel tentang kehadiran masyarakat bugis-makassar ke maluku. Ada mungkin yg bisa bantu dimana saya bisa dapatkan? atau kalau ada memungkinkan bisa kontak ke email saya; fuad02_azuz@yahoo.com
    Terima ksih atas bantuan dan dukungannya.
    Fuad mahfud azuz

  5. albar said

    di toko buku

  6. [eL] said

    dimana sy bisa dapat itu buku???

  7. appa said

    Aku telah membaca habis buku manusia bugis, memang tidak dapat dipungkiri bahwa buku itu cukup bagus, tapi masih kurang akurat dalam penelitiannya karena tidak didasari dengan fakta dari hasil peninggalan arkheoligy mustinya pengarangnya itu membuat sebuah tim yang terdiri dari para arkheolog untuk mencari jajak2 sejarah Bugis Kuno di sulawesi selatan. Bumi Bugis telah didiami manusi sejak ratusan tahun dahulu. dan budayanya terbagi dari dua fase Bugis Kuno dan Bugis Moderen sama dengan Kbudayaan Mesir yang tediri dari dua pase Kuno dan baru, yang dapat dibuktikan dianalia dalam buku the Bugis hanya bagian dari Bugis baru. Tapi Bugis Kuno masuh memerlukan penelitian dan pengkajian yang mendalam.

    • Qiran said

      Saya sependapat dengan: @appa. Buku tersebut tidak didukung dengan fakta dan data yang akurat, makanya dikritik pedas oleh Geoge Adicondro dengan data dan fakta yang lebih logis. Karena itu sebaiknya penulisnya merevisi ulang tentang buku tersebut. Karena buku tersebut adalah karya ilmu pengetahun seharusnya bersifat ilmiah kecuali buku tersebut sekedar jenis buku cerita aja. Ingat bahwa kesalahan yang di perbuat dalam sebuah buku akan membuat kesalahan pada gerenasi selanjutnya. Sehingga bisa menjadi TRAGEDI Ilmu pengetahuan tentang sejarah, kebudayaan, dll.

Tinggalkan komentar